Minggu, 16 November 2014

Negeri yang Tidak Memerlukan Sejarah

Indonesia adalah negara yang berkelimpahan. Mulai dari sumber daya alam, jumlah sumber daya manusia, tanah subur, posisi geografis sempurna, laut yang luas, pulau indah terhampar, kekayaan budaya, banyak jumlah suku ras etnik, dll. Yang menegaskan bahwa jika itu dianalisis SWOT, sangat banyak modal strength, dan opportunity-nya. Meski begitu, ternyata dengan adanya kelimpahan yang sangat tersebut, juga mengakibatkan banyak threath.Terlebih pula weakness yang ternyata semakin lama semakin menggerogoti data tahan rakyat.

Banyak yang mengatakan, meski masih hipotesa-hipotesa belum ada bukti, negeri ini adalah sebuah negeri yang pernah menjadi pusat peradaban. Banyaknya penduduk di Jawa memberi bukti bahwa sejak dahulu negeri ini menawarkan gula kepada banyak semut dibanding daerah lain, benua lain. Pun ketika Australia belum jadi apa-apa. Amerika belum jadi apa-apa. Singapura, apalagi.

Jawa waktu itu sudah berkawan baik dengan Tiongkok. Berdagang baik dengan orang Arab. Berteman akrab dengan pedagang India. Bahkan bertukar budaya, kepercayaan. Menyuplai kebutuhan Eropa. Menyuplai kebutuhan Afrika.

Waktu itu, sudah pula dikenal sebagai negeri yang kaya, berkelimpahan sumber daya alam. Entah emas, barang kerajinan, dan rempah-rempah.

Semua itu berubah setelah negara api menyerang!

Ketika jalan laut dibuka Spanyol. Kemudian Portugis. Lalu Inggris. Lalu Belanda.

Negeri berkelimpahan itu akhirnya hidup sebagai orang kedua di negerinya sendiri. Kekuatan berdiri atas negeri sendiri berubah menjadi pemuja kulit putih. Bangga akan budaya sendiri berubah menjadi penyuka segala apa yang dihasilkan dari negeri manca.

Melihat negeri sendiri seperti tak berharga. Mencibir bahwa semua itu tak ada gunanya saat ini.

Padahal, sampai sekarang pun, negeri manca sangat mengagumi karya-karya kerajaan Jawa abad 7,8,9,10,11,12. Energi, pengetahuan, ilmu, untuk mempelajari keluhuran, kekuatan, kejayaan negeri ini sampai saat ini masih ditunjukkan dari mereka yang ada di Leiden, Cornell, Australia, dll.

Hingga, ketika setelah katanya negeri ini merdeka, kekaguman buta pada apa-apa yang dari manca itu tidak luruh. Tiga abad mungkin sudah mengubah mata mereka menjadi blawur.

Kpop, jpop, barang made in china, made in japan, made in taiwan, dijajakan di pasar-pasar layaknya tempe. Harga murah. Hari ini beli, bulan depan ganti lagi. Mulai dari mainan anak, sandal jepit, kaos, topi, baju, tas, hingga motor, elektronik, mobil, dll.

Bukannya malu karena hanya bisa beli, tapi malah bangga karena bisa memiliki barang yang mahal tersebut.
Tidak ada malu karena tidak bisa membuat.

Peninggalan kejayaan yang tersimpan di museum jelas tak dilirik. Museum menjadi kuburan, mall menjadi tempat keramaian.

Bangunan cagar budaya tak diperlukan lagi. Mall harus dibangun diatas reruntuhan pondasinya.

Masa lalu biarlah berlalu.

Kami tidak lupa akan bangunan itu, namun demi peningkatan ekonomi masyarakat, peningkatan pendapatan daerah, semua yang bernuansa masa lalu harus digantikan dengan bangunan saat ini.

Kami hidup bukan dari masa lalu. Kami hidup untuk saat ini.

Kalau perlu gusur saja museum-museum itu. Kami akan bangun diatasnya perumahan untuk kaum berpunya, mall untuk kemajuan ekonomi, jalan untuk meningkatkan mobilitas pembagunan, apartemen untuk kami sewakan, atau mungkin bisa saja kami jadikan tempat pembuangan sampah. Karena keberadaannya adalah ketiadaannya.

Kami tidak perlu masa lalu. Sejarah adalah masa lalu. Kami hidup di masa sekarang. Untuk masa depan.

Dengan bangga kami, negeri ini tidak memerlukan sejarah lagi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar