Selasa, 07 Oktober 2014

Fort Van Den Bosch Ngawi

Meski dekat dengan Ngawi, saya belum pernah ke tempat ini.
Fort van Den Bosch dibangun di pertemuan bengawan Solo dan bengawan Madiun.


Dari searching saya di google, banyak yang menulis tempat ini adalah tempat strategis, karena titik temu pedagang dari timur, selatan dan barat. Karena memang pada saat itu lalu lintasnya masih lewat sungai/bengawan.

Disana juga ada makam KH. Muhammad Nursalim, yang konon merupakan musuh Belanda pada saat itu. Dibedil tidak mempan, akhirnya ditimbun hidup-hidup.




Banyak blog yang menuliskan bahwa benteng ini didirikan oleh Jenderal van Den Bosch.
Tetapi apa iya begitu?
Ini pertanyaan saya, untuk memulai bahasan ini.



1839 – 1845 adalah tahun yang tertulis di dinding Fort van Den Bosch.
JOHANNES VAN DEN BOSCH (JVDB) sendiri menjabat Gubernur-General (GG) Hindia Belanda tahun 1830-1834 (wikipedia). Kalau dari sumber  http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/GG.htm, dia hanya sampai 1833.




Pejabat setelah JVDB adalah JEAN-CHRETIEN BAUD (JCB), masa jabatan 1833-1836.
Setelah JCB adalah DOMINIQUE JACQUES DE EERENS (DJDE), 1836-1840.
Setelah DJDE adalah PIETER MERKUS (PM), 1841-1844.
Setelah PM adalah  JAN JACOB ROCHUSSEN,1845-1851.

Balik lagi ke tahun fort, berarti tahun tersebut bukan tahun ketika JVDB menjabat. Jadi kesimpulannya, benteng tersebut bukan dibangun oleh JVDB sendiri, namun oleh pejabat-pejabat GG setelah dia.

JVDB mungkin spesial, hingga ketika pemerintah membangun benteng, dinamai dengan nama dia.

Menurut http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/diponegoroengels.htm, pada tahun 1825, GG waktu itu, Van der Capellen telah kembali ke Belanda sebagai seorang pria frustrasi: semuanya telah gagal dan apalagi ia juga memberitahu Raja William I bahwa pemberontakan Diponegoro mungkin juga menjadi akhir dari petualangan kolonial baru. 

Maka dia digantikan GG yang baru, LEONARD P. J. burggraaf DU BUS DE GISIGNIES (DBDG). Konon, Du Bus de Gisignies ditimbang 145kg sebelum menjabat, saat ia kembali ke Eropa pada tahun 1830, ia telah kehilangan 60kg.

JVDB diangkat menjadi GG, ketika perang jawa hampir berakhir. Seperti yang telah kita tahu bersama, perang jawa (de Java oorlog) yang dipimpin Pangeran Diponegoro (PD) sangat menyedot keuangan. Tahun 1825-1830. http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/diponegoroengels.htm menyebutnya yang terbesar dan yang paling mahal.

Di pihak Belanda Hendrik Merkus de Kock, Lieutenant Governor-General (1826–1830) memimpin perang tersebut. 

Sebab-sebab perang jawa silahkan dicari sendiri di google. Saya belum fokus mengumpulkan bahan tentang itu.

1825 - 1826
PD menggunakan strategi perang gerilya. Selain itu, http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/diponegoroengels.htm menyebutkan, PD juga menggunakan taktik bumi hangus, tidak ada makanan yang tersisa di mana saja dan, yang lebih penting, tidak ada air bersih di hutan untuk pasukan Belanda.

Perang yang terjadi dimana-mana, menyebabkan Belanda tidak bisa fokus melawan pemberontak yang mana, sehingga pertahanan mereka menjadi rapuh.

Menurut http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/perang-diponegoro.html, pada tahun 1825-1826, pasukan Pangeran Diponegoro mendapat banyak kemenangan.

Daerah Pacitan berhasil dikuasai pada tanggal 6 Agustus 1825, menyusul kemudian Purwodadi pada tanggal 28 Agustus 1825.

Pertempuran semakin meluas meliputi Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Madiun, Kertosono dan lain-lain.
Pangeran Diponegoro menugaskan Pangeran Adiwinoto dan Mangundipuro memimpin perlawanan di daerah Kedu.
Pangeran Abubakar dan Tumenggung Joyomustopo, mengadakan perlawanan di daerah Lowanu.
Sedangkan untuk daerah Kulonprogo diserahkan kepada Pangeran Adisuryo dan anaknya Pangeran Sumenegoro untuk memimpin perjuangan.
Tumenggung Cokronegoro di wilayah Gemplong.
Untuk wilayah sebelah utara kota Jogjakarta perjuangan dikomandoi oleh paman Diponegoro yaitu Pangeran Joyokusumo, beliau dibantu oleh Tumenggung Surodilogo.
Di bagian timur kota Jogjakarta diembankan kepada Suryonegoro dan Suronegoro.
Markas besar di Selarong dipimpin oleh Joyonegoro Sumodiningrat dan juga Joyowinoto
Sedangkan untuk daerah Gunung kidul dipimpin oleh Pangeran Singosari dan Warsokusumo.
Di daerah Pajang  pimpinan perang diembankan kepada Mertoloyo, Wiryokusumo, Sindurejo dan Dipodirjo.
Di daerah Sukowati juga ditempatkan pasukan perlawanan yang dipimpin oleh Kartodirjo.
Wilayah strategis Semarang dipimpin oleh Pangeran Serang.
Sedangkan untuk daerah Madiun, Magetan dan Kediri, dipimpin oleh Mangunnegoro.

Pada tanggal 28 Juli 1826 pasukan Alibasha Sentot Prawirodirdjo mendapat kemenangan di wilayah Kasuran.
Pada tanggal 30 Juli 1826 Pangeran Diponegoro memenangkan pertempuran di wilayah Lengkong.
Kemudian tanggal 28 Agustus 1826, Pangeran Diponegoro mendapat kemenangan yang gemilang di Delanggu.
Oleh rakyat, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdulhamid Cokro Amirulmukminin Sayidin Panotogomo Kalifatullah Tanah Jowo.

Tidak terhitung berapa kerugian yang diderita oleh Belanda akibat perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro. Kekalahan demi kekalahan dialami oleh pasukan Belanda dalam menghadapi perang gerilya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Diponegoro malah menyebutkan jalannya perang sebagai berikut:
Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya.

1827
Akhirnya pada tahun 1827, Jenderal De Kock menggunakan siasat Benteng Stelsel. Siasat ini untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dengan jalan membangun benteng-benteng sebagai pusat pertahanan dan untuk memutuskan hubungan pasukan Diponegoro dengan daerah lain.
[Picture Jenderal De Kock]

Secara garis besar strategi perang ini adalah pada setiap kawasan yang sudah berhasil dikuasai Belanda, dibangun benteng pertahanan atau kubu pertahanan, kemudian dari masing kubu pertahanan tersebut dibangun infrastruktur penghubung seperti jalan atau jembatan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Stelsel)

Penggunaan strategi Benteng Stelsel pada satu sisi berhasil mempercepat peperangan yang banyak menghabiskan biaya, dengan menjepit kedudukan musuh sekaligus dapat mengendalikan wilayah yang dikuasai, namun sisi lain taktik ini memberi dampak pada pengerahan tenaga kerja paksa yang banyak terutama untuk membangun infrastruktur dalam mendukung strategi tersebut. Pada awalnya taktik perang ini kurang disukai oleh GG DBDG yang dianggapnya juga memerlukan biaya yang besar, namun tekanan untuk dapat mempercepat penyelesaian perang di Hindia-Belanda, strategi ini tetap dipertahankan.

Pada tahun 1827 strategi ini mulai diterapkan, untuk dapat mempersempit kedudukan PD, maka dibangun benteng di Semarang, kemudian Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo, dan Magelang. Penerapan dari taktik ini kemudian menghasilkan sekitar 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. (http://id.wikipedia.org/wiki/Benteng_Stelsel)
 
Belanda juga mendatangkan bala bantuan dari Sumatra Barat (Perang Padri dihentikan dulu dengan gencatan senjata) untuk menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro. Pada tahun 1830 mereka memiliki sekitar 20.000 orang, setengah dari mereka adalah orang Eropa. (http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/diponegoroengels.htm)

Menurut http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/diponegoroengels.htm, de Kock "hanya" mengadopsi metode Diponegoro dengan mendirikan pos-pos kecil tapi dijaga ketat ("bentengs"). 

Selain itu, Belanda terbukti menjadi master divide et impera. Para petani dijanjikan biaya lebih rendah dengan instrumen sewa tanah, karena kaum bangsawan juga akan mendapatkan sewa. Dengan begitu, pisau memotong kedua sisi: para petani pikir mereka lebih baik dan bangsawan juga memiliki pendapatan lagi. Bangsawan itu masih bisa lagi bernegosiasi dengan loaners tanah Eropa yang ingin menyewa lahan dari petani Jawa.

Lihat dimana posisi kerajaan Jawa saat itu. Siapa sih rajanya? (Selingan dulu)
Mumpung lagi di bahasan,,
Raja Jawa saat itu adalah :
SURAKARTA
1823 – 1830
Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.

Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.

Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera ditanam di dalam keraton oleh Pakubuwana VI.

Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_VI)

Akhir perang
Belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.

Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya mati setelah disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar Luar Batang.

Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.

Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.

JOGJAKARTA
Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertakhta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

1828
Taktik lain yang digunakan Belanda untuk melemahkan pasukan Pangeran Diponegoro adalah mendekati para pimpinan pasukan  agar mau menyerah dan memihak Belanda.
Siasat ini berhasil, Pangeran Notodiningrat putra Pangeran Mangkubumi menyerah  pada tanggal 18 April 1828.
Pangeran Aria Papak menyerah pada bulan Mei 1828.
Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1828, Kiai Mojo berunding dengan Belanda.
Perundingan dilakukan di desa Mlangi.
Perundingan gagal dan Kiai Mojo ditangkap kemudian diasingkan ke Minahasa sampai akhirnya wafat pada tahun 1849.

Pemimpin lainnya yang masih gigih berjuang adalah Alibasha Sentot Prawirodirdjo.
Pada tanggal 20 Desember 1828 berhasil menyerang benteng Belanda di daerah Nanggulan.

1829
Untuk menghadapi perlawanan Sentot, Jenderal De Kock melakukan pendekatan agar ia mau berunding.
Belanda kemudian minta bantuan dari Pangeran Ario Prawirodiningrat, bupati Madiun untuk membujuk Sentot.

Usaha ini berhasil, pada tanggal 17 Oktober 1829 diadakan perundingan perdamaian dengan syarat : Sentot tetap menjadi pemimpin pasukan dan pasukannya tidak dibubarkan, selain itu ia dan pasukannya tetap diperbolehkan memakai sorban.

Pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot dan pasukannya memasuki kota Jogjakarta. Kemudian oleh Belanda dikirim ke Sumatra Barat. Karena ia kemudian bergabung dengan kaum Padri, Sentot lalu ditangkap dan dibuang ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Bengkulu sampai akhirnya meninggal tahun 1855.

Dengan menyerahnya Sentot, kekuatan Pangeran Diponegoro pun semakin berkurang. Apalagi setelah putranya yang bernama Pangeran Dipokusumo menyerah pada Belanda di tahun 1830. Walaupun sudah banyak yang menyerah tetapi Pangeran Diponegoro masih tetap bertahan melakukan perlawanan.

Pada tanggal 21 September 1829 Belanda mengeluarkan pengumuman bahwa siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapat hadiah 20.000 ringgit. Tetapi usaha ini tidak berhasil.

1830
Setelah berjuang dengan gigih akhirnya Pangeran Diponegoro bersedia berunding dengan Belanda. Pada tanggal 8 Maret 1830 dengan pasukannya yang masih setia telah memasuki wilayah Magelang. Tetapi Pangeran Diponegoro minta perundingan diundur karena bertepatan dengan bulan Ramadhan.

Pertemuan pertama antara Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda yang diwakili Kolonel Cleerens dilakukan pada tanggal 16 Februari 1830 didesa Remo Kamal, ditetapkan apabila perundingan mengalami kegagalan, Pangeran Diponegoro diperkenankan kembali ke markasnya.

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan berikutnya dilakukan di rumah Residen Kedu. Perundingan tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau ditangkap oleh pasukan Belanda. Hari itu juga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
 
Pada tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis. Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari GG Jenderal Van den Bosch. 
Tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. 

Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnoningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 
3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam

1834
Pada tahun 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar.

Akibat perang ini, Belanda menderita kerugian yang sangat besar. Dan merupakan perang yang paling menguras tenaga dan biaya. Tercatat setidaknya 8.000 prajurit Belanda tewas dan sekitar 7.000 penduduk pribumi menjadi korban perang ini serta kurang lebih 20.000 gulden habis untuk membiayai perang ini.

Dalam Perang Padri, taktik Benteng Stelsel kembali diterapkan, setelah menguasai Bukittinggi kemudian Belanda membangun sebuah benteng yang dinamai Fort de Kock, didedikasikan pada Hendrik Merkus de Kock, pelopor Benteng Stelsel. Pendirian Fort de Kock ini berhasil mempersempit gerakan perlawanan Kaum Padri, kemudian dari benteng ini Belanda membangun jalur jalan ke Bonjol guna memudahkan mobilisasi pasukannya dalam menaklukan markas utama Tuanku Imam Bonjol, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol pun secara keseluruhan dapat ditaklukkan oleh Belanda.

Jaman pemerintahan GG Johannes van Den Bosch
1830

4 Desember 1830
Van den Bosch secara resmi mengorganisasi pasukan Belanda dari Perang Jawa menjadi Oost-Indische Leger, atau "East Indies Army" (kemudian KNIL).

Pada masa JVDB ini, Belanda mulai serius berpikir tentang sebuah kerajaan yang nyata di Hindia. Dari 1830 sampai akhir abad ini, Belanda mulai mengatur untuk mengambil kontrol penuh dari daerah Aceh sampai Papua Nugini, dan untuk mengekstrak keuntungan sebanyak mungkin dari daerah yang berharga, seperti daerah Priangan Jawa Barat. (http://home.iae.nl/users/arcengel/Indonesia/1830.htm)

Cultuurstelsel 
JVDB mengenalkan sistem Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa.
Sistem ini mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). 
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940. (http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel)

Menurut mereka
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.

Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835

Pejabat GG 1833-1836 adalah pengganti JVDB yaitu JEAN-CHRETIEN BAUD (JCB). Jadi menurut saya, dia cuma meneruskan jasa besar JVDB. 

Demikian juga pejabat GG setelah JCB, yaitu  DOMINIQUE JACQUES DE EERENS (DJDE), 1836-1840. Nama besar JVDB mungkin masih sangat dihormati oleh pejabat-pejabat GG setelahnya.

Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.

Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.

Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. 

GG pada masa 1845-1851 adalah JAN JACOB ROCHUSSEN,.

Sekitar tahun 1845, serangkaian panen yang buruk menyebabkan kemiskinan yang lebih besar dan bahkan kelaparan di Jawa - kelaparan yang diperparah karena tanah terbaik yang digunakan untuk tembakau, gula atau kopi bukan beras, dan karena tanah pada umumnya telah habis oleh overproduksi. 

Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). (http://harunarcom.blogspot.com/2014/01/cultuurstelsel-atau-sistemtanam-paksa.html)

Menurut http://home.iae.nl/users/arcengel/Indonesia/1830.htm, Van den Bosch telah menentukan bahwa petani lokal harus diberikan kelonggaran untuk menanam makanan mereka sendiri, namun para pejabat kolonial bawahnya mengabaikan perintah ini dalam mengejar hasil bumi semakin besar.

Lihat GG sudah berganti tiga kali, tapi JVDB masih ada omongannya.


Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.

Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.

Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.

Raja Belanda memiliki saham yang signifikan di NHM, dan memperoleh keberuntungan ekstra dari keuntungannya. (The NHM bertahan hari ini (waktu Pramudya menulis sejarah ini) sebagai Algemene Bank Nederland.) (http://home.iae.nl/users/arcengel/Indonesia/1830.htm)

Algemene Bank Nederland disingkat ABN. Sebenernya ABN adalah hasil merger dari NHM dan De Twentsche Bank (1964). Tahun 1991, ABN merger lagi dengan bank AMRO. Jadilah ABN AMRO. (http://en.wikipedia.org/wiki/Algemene_Bank_Nederland)




Penjelasan lebih lengkap mengenai cultuur stelsel bisa dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel.

Juga http://harunarcom.blogspot.com/2014/01/cultuurstelsel-atau-sistemtanam-paksa.html

Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda (William I), pada 25 Desember 1839.

Menurut Raja William I, ia mampu menghasilkan uang dari Hindia seperti "Musa bisa mendapatkan air dari batu". Bisa melunasi utang 40 juta gulden, yang disebabkan oleh Diponegoro dan lain-lain, dengan model cultuurstelsel.

Hindia Belanda hampir bangkrut tahun 1820-an; setelah van den Bosch, itu anggaran Belanda kembali surplus besar dari 1830-an (dan sampai 1870-an).

Van den Bosch died on January 1844 at his estate in The Hague/ Den Haag.

Silahkan dicocokkan tahun Fort van Den Bosch dengan tanggal penyematan gelar Graaf oleh William I dan tahun meninggalnya. Fort van Den Bosch dinamai untuk menghargai jasa-jasa Johannes van den Bosch. 

Juragan.RY
Jogja, 8 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar